Kasus "Pulau Ambalat" yang
berhubungan dengan wawasan nusantara
Yang
pertama akan dijelaskan pengertian dari wawasan nusantara terlebih dahulu
setelah itu akan dibahas lebih lanjut
tentang kasus Ambalat.
Pengertian
Wawasan Nusantara
Istilah
wawasan nusantara berasal dari kata wawas yang berarti pandangan,
tinjauan, atau penglihatan inderawi. Istilah wawasan berarti cara
pandang, cara tinjau, atau cara melihat. Sedangkan istilah nusantara berasal
dari kata “nusa” yang berarti pulau-pulau, dan “antara” yang berarti diapit di
antara dua hal.
Wawasan
nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa Indonesia tentang diri
dan lingkungannya berdasarkan pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan
geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan
dan cita-cita nasionalnya.
Kaitan
Kasus Ambalat dengan Wawasan Nusantara
Ambalat adalah blok laut
luas mencakup 15.235 kilometer persegi yang terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar dan
berada di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia,
dan Kalimantan Timur, Indonesia.
Penamaan blok laut ini didasarkan atas kepentingan eksplorasi kekayaan laut dan
bawah laut, khususnya dalam bidang pertambangan minyak.
Indonesia
sebagai sebuah bangsa yang besar dan wilayah yang luas baik darat maupun lautan
memiliki tantangan tersendiri untuk menjaga keutuhan dan persatuan serta
kesatuan wilayahnya. Berbagai ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan baik
yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri dapat mengancam keutuhan
bangsa dan Negara Indonesia. Hal yang berkaitan dengan konsep wawasan nusantara
serta implementasinya salah satunya mengenai persengketaan berkaitan dengan daerah
perbatasan antar Negara. Seperti hal yang sangat marak baru-baru ini yaitu
sengketa antar dua negara serumpun, Indonesia-Malaysia mengenai daerah
perbatasan di wilayah Ambalat.
Adapun
latar belakang yang memunculkan masalah tersebut yaitu Pemberian konsesi
eksplorasi pertambangan di Blok ND7 dan ND6 dalam wilayah perairan Indonesia.
Tepatnya di Laut Sulawesi, perairan sebelah timur Kalimantan oleh perusahaan
minyak malaysia, petronas kepada PT Shell, pada tanggal16 Februari 2005.
Padahal Pertamina dan Petronas sudah lama saling mengklaim hak atas sumber
minyak dan gas di Laut Sulawesi dekat Tawau, Sabah yang dikenal dengan East
Ambalat. Kedua perusahaan minyak dan gas itu sama-sama menawarkan hak
eksplorasi ke perusahaan asing. Blok Ambalat diperkirakan memiliki kandungan
421,61 juta barel minyak dan gas 3,3 triliun kaki kubik.
Pemberian
konsesi minyak oleh Malaysia tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak di
Indonesia. klaim tersebut dilakukan Malaysia dengan argumentasi peta tahun
1979 yang diterbitkan secara sepihak oleh Malaysia.
Malaysia
semula mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari
batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysia memperluas
wilayahnya sampai sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas wilayah Indonesia
yang telah diambil Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi. Adapun titik awal
penarikan garis batas pengakuan dimulai dari garis pantai Pulau Sebatik,
Kaltim.
Oleh berbagai komponen gerakan mahasiswa yang mencoba
membaca kasus Ambalat sebagai bentuk pertaruhan harga diri bangsa dan negara
dari deraan kepentingan ekonomi-politik neo-imperalisme.Sikap kritis-progresif
kalangan gerakan mahasiswa -- yang terekspresi dalam berbagai aksi,
demonstrasi, pernyataan sikap -- tersebut dilandasi oleh kerangka berpikir
bahwa kasus konflik Ambalat sebenarnya merupakan konflik kepentingan rezim
neo-liberalisme dan neo-imperalisme yang terwakili berbagai serikat perusahaan
minyak global yang ingin mengeksploitasi sumber daya minyak di gugus perairan
Ambalat (East Ambalat). Yakni antara perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan ENI
(Italia) yang telah menjalin kontrak dengan pemerintah Indonesia, diwakili
Pertamina melawan perusahaan SHELL (Inggris-Belanda) yang telah menjalin
kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia,yang telah menjalin kontrak kerja
sama dengan pemerintah Malaysia, yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni
Petronas.Dalam catatan pengamat politik Riswanda Imawan, sengketa perairan
Ambalat merupakan medan "pertempuran'' kepentingan antar
perusahaan kapitalis minyak di atas untuk memperebutkan
sumber daya minyak dan gas yang ada di dasar perairan Ambalat. Dalam konteks
demikian sebenarnya konflik Ambalat adalah pertentangan kepentingan
antarperusahaan minyak global dengan memanfaatkan politik intervensi pemerintah
Malaysia yang mungkin memiliki sikap berani berkonflik melawan pemerintah
Indonesia, yang saat ini lemah secara politik, ekonomi dan kekuatan
persenjataan karena deraan praktik korupsi serta krisis ekonomi sejak akhir
kekuasaan Orde Baru.
Sementara
itu yang patut diingat dalam menuntaskan permasalahan sengketa Ambalat, di
samping show of force militer, Pemerintah Indonesia juga harus menyiapkan
strategi jitu secara diplomatik agar tidak kembali menelan kekalahan seperti
dalam persidangan kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Akankah kedaulatan
wilayah kita yang disatukan oleh lautan kembali terlepas dari pangkuan Ibu
Pertiwi?
Perjuangan
Indonesia untuk memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan merupakan sebuah
perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Hal ini dikarenakan usaha-usaha
untuk memasukkan rezim kepulauan selama diadakan Konferensi Kodifikasi Den Haag
tahun 1930 dan Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 selalu mengalami
kegagalan. Di samping tidak adanya kesepakatan mengenai pengertian negara
kepulauan, kegagalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai kepentingan
antarnegara, khususnya negara-negara maritim besar yang ingin terus menancapkan
hegemoninya di wilayah laut.
Mochtar
Kusumaatmadja (2003) menyebutkan, sekurang-kurangnya ada empat golongan yang
berkepentingan dengan prinsip-prinsip negara kepulauan, yaitu: Pertama,
negara-negara tetangga, yakni anggota-anggota ASEAN dan negara-negara tetangga
lainnya, termasuk Australia. Kedua, negara yang berkepentingan terhadap perikanan
dan pemasangan kabel komunikasi di dasar laut, seperti Jepang yang melakukan
kegiatan perikanan di Perairan Indonesia sejak sebelum perang. Ketiga, negara
maritim yang berkepentingan terhadap lalu lintas pelayaran laut. Dalam golongan
ini termasuk negara- negara Eropa Barat yang memiliki armada niaga besar dan
maju. Keempat, negara maritim besar yang mempunyai kepentingan terhadap
strategi militer, seperti Amerika Serikat dan Rusia.
Sementara
itu jauh sebelum bergabungnya Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritus sebagai
negara pendukung asas-asas kepulauan pada akhir tahun 1972, Pemerintah Republik
Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengeluarkan suatu deklarasi tentang
wilayah Perairan Indonesia yang dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda. Deklarasi
ini mengubah batas laut teritorial Indonesia dari 3 mil berdasarkan
Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939 menjadi 12 mil.
Artinya, bagian laut yang sebelumnya termasuk laut lepas (high seas), sekarang
menjadi laut teritorial Indonesia, seperti Laut Jawa yang terletak antara Pulau
Kalimantan dan Pulau Jawa.
Untuk
memperkuat Deklarasi Djuanda 1957 dan melaksanakan konsepsi Wawasan Nusantara,
maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Perpu Nomor 4 Tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia yang kemudian diganti oleh UndangUndang No 6/1996. Dalam
perkembangan selanjutnya, konsepsi negara kepulauan akhirnya mendapat pengakuan
pada Konvensi Hukum Laut 1982.
Dimasukannya
poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV UNCLOS 1982 yang berisi 9 pasal, bagi
seluruh rakyat Indonesia hal ini memiliki arti penting karena selama 25 tahun
secara terus-menerus Pemerintah Indonesia memperjuangkan asas-asas negara
kepulauan. Pengakuan resmi asas negara kepulauan ini merupakan hal yang penting
dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah yang utuh sesuai dengan Deklarasi
Djuanda 13 Desember 1957 dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam TAP
MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang menjadi dasar bagi perwujudan
kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan, dan keamanan.
Berdasarkan
informasi yang berkembang, mencuatnya konflik Malaysia-Indonesia di Perairan
Sulawesi disebabkan salah satunya oleh kesalahan Malaysia dalam melakukan
penarikan garis pangkal (base line) pascasidang kasus Sipadan-Ligitan. Sejak
beralihnya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, pihak Pemerintah Malaysia
menempatkan dirinya sebagai negara kepulauan (archipelagis state), yang
kemudian menggunakan garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic
baseline) dalam penentuan batas wilayahnya sehingga wilayah perairannya
menjorok jauh ke selatan, mengambil wilayah perairan Indonesia.
Dengan
dasar itu, materi yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah Malaysia
merupakan negara kepulauan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam UNCLOS 1982?
Secara
umum, definisi yang diberikan UNCLOS 1982 terhadap negara kepulauan ialah
negara-negara yang terdiri atas seluruhnya dari satu atau lebih kepulauan.
Selanjutnya ditentukan, bahwa yang dimaksud dengan kepulauan adalah sekumpulan
pulau-pulau, perairan yang saling bersambungan (inter-connecting water) dan
karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang demikian erat sehingga
membentuk suatu kesatuan intrinsik geografis, ekonomis, dan politis atau secara
historis memang dipandang sebagai demikian (Pasal 47). Dengan demikian,
Malaysia tidak dibenarkan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan karena
mereka tidak berstatus sebagai negara kepulauan.
Selain
itu, klaim Malaysia juga didasarkan pada konsepsi Landasan Kontinen
(continental shelf) yang merupakan kelanjutan alamiah (natural prolongation)
dari wilayah daratannya sampai pada ujung luar dari tepian kontinen atau sampai
pada jarak 200 mil laut dari garis pangkal. Ironisnya, lagi- lagi Malaysia
keliru, karena Indonesia sebagai negara kepulauan yang berhak melakukan
penarikan garis pangkal dari ujung luar batas pulau-pulaunya, maka batas laut
teritorial bagian utara pulau Jawa berada di Lautan Sulawesi.
Hikmah dan Solusi Kasus Ambalat Kaitannya dengan
Implementasi Wawasan Nusantara
Lepasnya
Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, dan kini Blok Ambalat dalam klaimnya
juga, secara hukum sebenarnya akibat kelalaian Indonesia yang tidak segera
menetapkan batas terluar kepulauan Indonesia, terutama sejak rezim hukum negara
kepulauan mendapat pengakuan dari masyarakat internasional melalui Konvensi
Hukum Laut (KLH) 1982. Bab IV KLH, 1982 (Pasal 46 hingga Pasal 54) mengatur
tentang Negara Kapulauan (Archipelagic States) Indonesia telah
meratifikasi KLH 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985.
Namun,
ratifikasi KLH 1982 ternyata dalam perkembangannya tidak segera diikuti dengan
langkah-langkah tindak lanjut sebagai penjabarannya ke dalam peraturan
perundang-undangan nasional. Kondisi tersebut sebenarnya kurang menguntungkan
bagi Indonesia, karena berarti Indonesia belum dapat mengambil manfaat dari
adanya perubahan dan atau pembaruan di bidang pengaturan atas laut khususnya
yang diatur dalam Bab IV KLH 1982 tentang Negara Kapulauan.
Rezim
hukum "negara kepulauan" Indonesia yang telah diperjuangkan dengan
susah payah sejak deklarasi Juanda 1957, harus dijaga keutuhannya dan
dipertahankan eksistensinya, bila perlu dengan mengerahkan kekuatan bersenjata
dan seluruh rakyat Indonesia. Aksi Malaysia dengan klaimnya atas Blok Ambalat
merupakan tamparan nyata terhadap kedaulatan teritorial "negara
kepulauan" Indonesia. Aksi tersebut tidak boleh dibiarkan menjadi
kenyataan. Tunjukkan dan tegaskan baik secara "faktual" maupun
"yuridis" bahwa Blok Ambalat adalah milik Indonesia.
Pengaturan
masalah kelautan bagi pemerintah Republik Indonesia merupakan hal yang penting
dan mendesak mengingat bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara
kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan sifat dan corak tersendiri. Hal
tersebut sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 bahwa, "Pemerintah
Republik Indonesia berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia".
Penetapan
batas-batas laut teritorial selebar 3 mil dari pantai sebagaimana terdapat
dalam Territiriale Zee en Maritieme Kringen-Ordonnantie 1939 (TZMKO
1939) Pasal 1 ayat 1 tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan
dan keamanan negara Republik Indonesia. Demi kesatuan wilayah negara Republik
Indonesia, semua pulau-pulau serta laut yang terletak di antaranya harus
dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat.
Untuk
mewujudkan tujuan tersebut, pada tanggal 13 Desember 1957, Pemerintah Republik
Indonesia mengeluarkan suatu pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia (deklarasi
Juanda). Deklarasi tersebut yang di dalamnya mengandung konsepsi nusantara
menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonsia untuk
memperjuangkan dan mempertahankannya hingga mendapat pengakuan dari masyarakat
internasional.
Deklarasi
Juanda 1957 mendapat tantangan dari negara-negara yang saat itu merasa
kepentingannya terganggu seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda
dan New Zealand dengan menyatakan tidak mengakui klaim Indonesia atas konsepsi
nusantara. Negara yang mendukung pernyataan Indonesia mengenai konsepsi
nusantara hanya Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.
Tapi
dalam visi dan orientasi pembangunan, khususnya sejak Orba, kita melupakan visi
dan orientasi negara kepulauan ini dan lebih berorientasi tanah daratan (land
based oriented) yang mengakibatkan kita bersifat inward
looking. Tanpa orientasi kepulauan, seperti dikatakan Dimyati Hartono, kita
tidak punya national security belt, yakni titik-titik kawasan
strategis bagi mengamankan kewilayahan dan kedaulatan negara. Setiap titik itu
bukan saja menjadi pos pertahanan tetapi juga dikembangkan ekonomi dan
sarana-prasarana pendidikannya sehingga kawasan-kawasan titik ini dengan
sendirinya akan terbangun sistem peringatan dini (early warning system).
Dengan orientasi kepulauan, Indonesia akan membangun dengan pandangan
integratif darat, laut dan udara. Dan orientasi ini akan membuat kita
lebih outward looking.
Dalam
menghadapi sengketa dan konflik daerah perbatasan ada beberapa model dan pola
yang pernah dan dapat dilakukan untuk mengatasinya seperti dijelaskan dalam
Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional bahwa bila tak bisa
diselesaikan secara bilateral, ada pelbagai alternatif, misalnya mediator,
arbitrator dan mekanisme regional. Dalam kasus Ambalat, Malaysia pasti tak akan
menggunakan mekanisme regional di ASEAN, karena dia punya persoalan dengan
semua negara tetangganya seperti Singapura, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina
dan Thailand mengenai batas laut. Malaysia takut semua anggota ASEAN berpihak ke
Indonesia.
Bila
perundingan bilateral menemui jalan buntu, bisa dipilih solusi joint
development, di mana Indonesia termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme
itu. Pada 1989, setelah bertahun-tahun menemui jalan buntu, kita sepakat tak
membuat garis batas dengan Australia di Celah Timor. Kita menyepakati
membuat joint development dengan melakukan kerja sama ekonomi
di wilayah yang disengketakan. Model joint development banyak
mendapat pujian dari dunia dan konsep ini akhirnya ditiru negara-negata lain.
Sebagai negara kepulauan, kita mempunyai persoalan dalam
menjaganya karena saat kemerdekaan, laut kita cuma 3 mil dari pantai. Jadi luas
laut kita tak lebih dari 100 ribu kilometer persegi. Setelah konsep wawasan
nusantara diterima dunia, dan mendapat tambahan ZEE 200 mil, total laut kita
menjadi 6 juta kilometer persegi.
Dengan
demikian, dengan alasan apa pun, klaim wilayah di Blok Ambalat dan Blok East
Ambalat tidak dibenarkan oleh hukum laut internasional. Apalagi Indonesia
diperkuat oleh serentetan sejarah yang mencatat bahwa perairan di Ambalat masuk
ke dalam wilayah pengaturan Kerajaan Bulungan. Namun, langkah yang juga harus
segera ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah segera perbaiki dan depositkan
PP No 38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia ke Sekjen PBB untuk dicatatkan sebagai bukti dalam
penguasaan wilayah. Semoga usaha diplomasi yang kuat dan terukur dapat
mempertahankan kedaulatan keutuhan Negeri Bahari yang kita cintai.
Persengketaan
atas wilayah Ambalat membutuhkan penyelesaian yang logis, relevan, tanpa
merugikan pihak manapun apalagi sampai menimbulkan peperangan. Jika terjadi
kontak senjata antar Angkatan Laut maka masing-masing negara bersengketa
RI-Malaysia mengalami kerugian. Diusahakan sedapat mungkin persengketaan atas
wilayah Ambalat dapat diselesaikan secara damai.
Sebuah
sentilan mengenai kasus sipadan, ligitan, dan yang terakhir adalah ambalat,
harusnya menyadarkan kita bahwa kita telah jauh dari konsep wawasan nasional
yang merupakan landasan visional bangsa dan Negara Indonesia.
Berkaitan
dengan masalah perbatasan ini kaitannya dengan Wawasan Nusantara, penulis
menawarkan solusi untuk menilik kembali kepada diri kita masing-masing harusnya
setiap warga Negara Indonesia perlu memiliki kesadaran untuk:
© Mengerti,
memahami, dan menghayati hak dan kewajiban warga Negara serta hubungan warga
Negara dan Negara, sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia yang cinta tanah air
berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nuasantara
© Mengerti,
memahami, dan menghahayati bahwa di dalam menyelenggarakan kehidupannya Negara
memerlukan konsepsi wawasan nusantara, sehingga sadar sebagai earga Negara
memiliki wawasan nusantara guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional
Indonesia
harus lebih jeli dalam melihat setiap wilayahnya yang berbatasan dengan Negara
lain, dan tentu apapun yang berkaitan dengan hal ini dibutuhkan bukti autentik.
Indonesia harus belajar dari kasus Sipadan Ligitan agar wilayah Indonesia tetap
merupakan satu kesatuan utuh yang berlandaskan kebhinekaan
Analisinya :
Dari kasus diatas dapat dianalisis bahwa kasus
ambalat berhubungan dengan materi wawasan nusantara yaitu bahwa suatu bangsa yang telah mendirikan suatu negara, dalam
menyelenggarakan kehidupannya Negara Indonesia tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Pengaruh itu
timbul dari hubungan timbal balik antara filosofis bangsa kita, ideologi, aspirasi serta cita-cita dan kondisi sosial
masyarakat, budaya, tradisi, keadaan alam, wilayah serta pengalaman sejarah bangsa
Indonesia .Pemerintah dan
rakyat memerlukan suatu konsep berupa wawasan
nusantara untuk
menyelenggarakan kehidupannya. Wawasan ini dimaksudkan untuk menjamin
kelangsungan hidup Negara kesatuan republic
Indonesia , keutuhan wilayah
serta jati diri bangsa Indonesia. Kehidupan suatu bangsa dan negara senantiasa
dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis. Karena itu, wawasan itu
harus mampu memberi inspirasi bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai hambatan dan tantangan
yang ditimbulkan oleh lingkungan strategis dan dalam mengejar kejayaannya.
Negara Indonesia adalah negara yang solid terdiri dari
berbagai suku dan bangsa, terdiri dari banyak pulau-pulau dan lautan yang luas.
Jika kita sebagai warga negara ingin mempertahankan daerah kita dari ganguan
bangsa/negara lain, maka kita harus memperkuat ketahanan nasional kita.
Ketahanan nasional adalah cara paling ampuh, karena mencakup banyak landasan
seperti : Pancasila sebagai landasan ideal, UUD 1945 sebagai landasan
konstitusional dan Wawasan Nusantara sebagai landasan visional, jadi dengan
demikian katahanan nasional kita sangat solid.
NAMA : EVI MARGARETHA
NPM : 13213004
KELAS : 2EA04
Sumber Referensi :